Siang itu aku sedang berada di dalam bis Indralaya yang akan
membawaku ke kota Palembang. Seperti bis yang lainnya, kalau belum penuh atau
minimal ada sepuluh penumpang, biasanya bis ini takkan berangkat samapi kuota
yang diinginkan si supir maupun kernetnya tercapai.
sebenarnya siang itu aku tak terlalu berantusias untuk pergi,
karena begitu teriknya matahari bersinar jadi rasanya matahri itu ada di depan
mukaku, tapi karena sesuatu yag "urgen" jadi kupaksakan saja kaki ini
melangkah, hingga terdampar di dalam bis yang masih "ngetem".
tak sengaja sambil menunggu bis itu memenuhi kuotanya mereka,
aku melihat-lihat keluar kaca bis, sekedar untuk membuang penat siang yang
panas itu.
di luar, tepat di samping bis yang sedang aku tumpangi ini, ada
seorang bapak-bapak yang aku tebak umurnya sekitar 40an atau mungkin lebih.
atau boleh jadi kurang. karena yang aku tahu, terkadang karena beitu kerasnya
hidup ini, dapat membuat wajah makhluk hidup di dunia ini tampak jauh lebih tua
dibandingkan dengan umurnya.
Bapak itu tampak kumal, dengan bekas karung beras yang tak auh
lebih kumal lagi darinya, yang dia letakkan di pundak sebelah kirinya,
sedangkan tangan sebelah kanannya memegang semacam besi panjang yang ujungnya
dibuat melengkun agar dapat digunakan untuk mengambil barang-barang bekas
sejenis cangkir-cangkir plastik, botol dan barang bekas lainnya.
kulitanya hitam legam, terbakar panasnya matahari yang tiada
kira ini. aku melihatnya menjadikan aku semakin tahu betapa kerasnya hidup ini.
saat aku dapat begitu santainya duduk di bis ini, untuk
berpergian walaupun sedikit merasakan uap panas dari matahari, tapi setidaknya
aku sekarang sedang menggunakan pakaian yang bersih, rapi dan wangi. tidak ada
sobekan sana-sini yang membuatku malu.
tapi, pakaian yang bapak itu gunakan. warnanya sudah mendekati
kata uzur, telah bercampu denga warna tanah serta debu-deebu kota ini..
aku yang sedang duduk manis di bis ini, sambil minum susu dengan
santainya, sedangkan beliau sedang mengais sejumput rezeki untuk sekedar
menemukan sebuah cangkir plastik yang sekiranya sangat tidak sebanding dengan
harga susu yang aku minum ini.
aku yanga aakn dengan mudahnya mengeluarkan uang sekitar Rp
7000,- untuk membayar ongkosku pergi ke palembang, tapi di luar sana bapak itu
harus menelan semua debu kota ini dan panasnya kota ini. untuk sekedar
mendapatkan uang seribu atau dua ribu dari hasil ia menjual barang bekasnya.
Sungguh, terkadang aku terlalu sangat sering tidak pandai
bersyukur dengan semua yang telah allah berikan kepadaku.
sedangkan di luar sana masih begitu banyak orang yang harus
menderita demi mendapatka sebutir nasi untuk hari ini.