Oleh : Reny
Siapa sangka mimpi yang pernah aku
tulis dulu menjadi kenyataan. Kalian bisa bayangkan, sesuatu yang sangat kalian
inginkan selama ini menjadi kenyataan. Sesuatu yang rasanya mustahil terwujud,
tapi hal itu kalian dapat wujudkan.
Yeah! That’s incredible.
Aku benar-benar bersorak ria. Rasanya
ini mimpi, tapi saat aku cubit pipiku. Sakit.
Yaelah ini kan memang kenyataan dan aku senang, senang, senang. Sayangnya aku
tidak bisa salto, kalau aku bisa salto, mungkin aku akan salto bolak balik di
lapangan bola. Haha. Ngayal.
Sebelum aku panjang lebar bercerita
tentang perjalanan kami yang mengharu biru. Lebay.
Mari kita kenalan dulu sama Gn. Dempo. Bagi Mahasiswa pencinta alam, atau
para komunitas pencinta alam seluruh Indonesia, pasti kenal dengan gunung satu
ini, terutama yang berdomisili di sekitaran Pulau Sumatera.
Gunung Dempo memiliki ketinggian
sekitar 3.173 m (10.410 kaki, kaki orang dewasa ya, bukan kaki bayi) terletak
di provinsi Sumatera Selatan, di perbatasan antara kau dan aku, baper. Hehe. Salah ding, di perbatasan antara provinsi Sumsel dan Bengkulu tepatnya di
kota Basemah nama lain dari kota Pagaralam. Kota dingin penghasil teh hijau
favoritku dan terkenal juga sebagai penghasil kopi robusta. Kalau kalian dari
kota Palembang tanpa macet, bisa ditempuh jalur darat sekitar 7-8 jam. Kalau
dari tempatku dilahirkan dan dibesarkan bunda, di kota (red: dusun lewat, kota
belum masuk) Muara Enim, bisa ditempuh sekitar 3-4 jam dan memang belum macet.
Nah, kalau kalian lihat foto keren kami yang di atas, kami berada
di titik awal pendakian letaknya di kampung IV. Di sana kami bermalam satu
malam, persiapan untuk pendakian esok harinya. Di kampung ini listriknya masih
mengandalkan genset, jadi kalau tidak salah sekitar pukul 10 malam listriknya
padam dan baru dihidupkan lagi pagi-pagi keesokan harinya, aku lupa jam berapa
ya?
Pendakian ini dilakukan oleh enam
pemuda dan dua pemudi dengan semangat membara yang penuh cita-cita dan penuh
kasih sayang, suka menabung, suka membantu dan eitss, ngelantur. Intinya kami
mempunyai visi dan misi yang sama. Tapi, jangan kalian bayangkan pendakian ini
berjalan dengan mulus. Pendakian yang kami sebut sebagai Trip Ucak-Ucak ini kayak kalian ngeliat Bulan. Mulus dari jauh,
tapi sesungguhnya penuh kawah-kawah yang dalam, intinya tidak semulus yang
dibayangkan dan terlihat.
Awal berangkat saja kami sudah
merasakan terjalnya, bukan terjal jalannya saja. Tapi terjalnya keegoisan
masing-masing. Akhhh... disitulah kau akan lihat sifat asli mereka. Masalah awal,
tenda yang kurang, mepet-mepet waktu
keberangkatan baru lengkap tendanya. Satu tenda khusus kami wanita nan jelita dan dua tenda khusus kaum
adam nan ...(isi sendirilah).
Perjalanan perginya menyenangkan
dan memang penuh tawa. Ada yang dibully
dan ada yang membully. Lalu bagaimana
dengan aku sendiri. Jangan ditanya, aku benar-benar bahagia saat itu, bukan
hatiku saja yang bergenderang gembira, jantungku rasanya ikutan nyanyi ala-ala Indiahe.
“yang cewek, perlengkapan siapin
masing-masing yo” ujar ketua kelompok trip
ucak-ucak kami. Sebut saja Jodi namanya.
Jodi kembali membuka-buka ransel
gunung miliknya dan beberapa ransel besar lainnya.
“lah, ini apo dio Kimbo ?” ujarnya
sambil menunjukkan beberapa pakaian ke arah salah satu temanku, sebut saja
Kimbo.
“baju akulah,” jawabnya dengan
ekspresi agak kesal karena bajunya dibuang keluar dari ransel.
“eh, kau tuh cowok Kimbo, jadilah
yang ini bae yang dibawa.”
“oi Jodi, di sano tuh masih nak
ganti baju,” ujarnya masih kesal, tapi Jodi tidak menghiraukannya. Dia tetap
sibuk merapikan isi ransel-ransel lainnya. Kimbo pun Cuma bisa mendengus kesal
lalu pergi.
“Jod, tendanya cukup kan?” tanyaku
pada Jodi.
“cakmano yo Tan?” sebut saja namaku
di sini Tania.
“masih kurang sikok tendanyo,”
ujarnya dengan wajah menyesal.
“yah, kok gitu. Aku dak maulah
berangkat, dak mungkinlah kami cewek satu tenda samo kalian,” ada nada kesal,
marah, kecewa dan sedih disuaraku.
“tenang be lah Tan, gek ado
solusinyo, si Udin lagi ngambek tenda sikok lagi kekawannyo, buat kalian,” hibur temanku yang lain, sebut
saja namanya Ajad.
“iyo, dak nak cemberut nian muko
tuh” ujar Jodi sambil senyum. Saat itu mukaku bagaimana bentuknya aku tidak
tahu, yang pasti mereka tertawa bersamaan saat melihat ekspresi dimukaku.
Mukaku
ini memang terlalu ekspresif.
Iyalah, wajar kalau aku ketar
ketir, ini impianku, ini mimpiku, dan untuk pertama kalinya aku bisa dapat izin
seperti ini. Dapat izin seperti ini tuh kayak mimpi disiang bolong kalau suara
aku sebagus Raisa. Intinya ini kemustahilan yang aku dapat.
Beberapa saat kemudian terdengar suara
adzan, sambil menunggu kak Odon jemput kami. Kami menunaikan shalat Zhuhur dulu
di rumahnya Jodi. Kak Odon itu, tetua yang paling tua diantara kami. Tetua yang
baik hatinya dengan memberi tumpangan secara gratis menuju kota Pagaralam. Dan baik
hatinya lagi, dia tidak nangis sambil guling-guling saat mobilnya lecet oleh
kondisi jalan yang terjal.
*pukpuk
Terimakasih Oppa Odon.
“kito makan dulu ye, biar
perjalanan siang ini aman damai dan tentram,” ujar Komar sambil mengelus-elus
perutnya yang kayak ngumpetin bola sepanjang masa, sebut saja ya namanya Komar.
“haha, yo Mar, percayo mba samo kau.”
sahut mba Wati, sebut jugalah namanya atas nama mba Wati. Tokoh pemudi kedua
dalam trip ucak-ucak ini.
“kito kan memang selalu sehati mba,”
jawab Komar sambil senyum-senyum. Sebenarnya dialog diantara mereka tidak ada
keterkaitan sama sekali. Tapi tidak apalah, toh itu berhasil membuatku
tersenyum lagi.
Udin datang.
Udin : muka datar.
Aku dan lain-lainnya : muka ngarep.
“ado ?” tanyaku tidak sabar.
“emmmm...”
“seriusan Udin”
“cubo senyum dulu kau tuh Tan”
kuusahakan tarik pipi kanan kiriku biar tampak senyum.
“haha, cubo nangis dulu” kembali
Udin mempermainkanku.
“kutabok lamo-lamo gek,” aku mulai
kesal dan sangat tidak sabar.
“Yo dem, siap-siaplah, tuh kak Odon
lah sampe” jawabnya.
Jiahhhhhhhhhh.
Hatiku gembira
Riang tak tekira
Mendengar berita
Udin bawa tendaaaa....
*ups, tidak usah percaya aku
beneran nyanyiinnya di depan cecunguk-cecunguk ini, cuma sekedar dalam hati
doang kok. Joged-joged indianya juga dalam mimpi kalian saja. Haha.
Kamipun mulai mengecek ulang semua
perlengkapan yang kami bawa lalu dilanjutkan dengan berdo’a bersama.
Semoga perjalanan ini sesuai dengan
rencana dan target kami tercapai. Aamiin.
Yang tidak bilang amin, aku sumpahi
kagak bisa senyum lagi, haha. Canda ding.
Tiba di kota Pagaralam tepat saat
Adzan Maghrib, kami shalat lalu mampir sebentar ke rumah penduduk sana,
kenalannya si Jodi. Kami mendapat wejangan tentang pendakian. Intinya harus
siap fisik dan mental. Tidak boleh berlebihan dan harus tetap kompak.
Malampun tiba, sebelum kami mencari
tempat untuk bermalam mendirikan tenda, kami mampir dulu ke warung tempatnya
para pendaki-pendaki istirahat. Ramai, pastinya. Apalagi ini menjelang pergantian
tahun Masehi. Di sinilah aku dan mba Wati, merasa menjadi kaum minoritas. Karena
memang para pendaki itu umumnya para kaum adam, kaum hawanya bisa diitung pakek
jari, justru kadang kalau cuma lihat sekilas susah bedainya, cowok apa cewek ya
?
Walaupun begitu, kami dua pemudi
yang semangat ini tetap menikmatinya.
© © ©
Brrrr....
Dinginnya mulai menusuk tulang.
Pagi Dempo.
Aku bersemangat, walau sumpah dinginnya pakek banget.
Satu hal yang aku selalu kenang
tentang pagi di hari itu, pagi itu pertama kalinya aku tidur di alam bebas, tapi
tetep pakek tenda kok, kagak ngapar-ngapar aja.
Bagaimana suasana hatinya Tania ?
Senanggggggg ...senang dan senang komplit pakek banget.
Cuaca saat itu cerah, matahari
membantu menghangatkan tubuh kami yang kedinginan.
Setelah berpose ria, dan
berapi-rapi ria, kami kembali ke warung yang kami singgahi semalam, tidak jauh
dari tempat kami mendirikan tenda untuk memberi bekal perut, terutama perutnya
si Komar.
“dedek dalam sini dak boleh lapar,
gek nangis, susah dieminnyo.” Ujarnya, lagi-lagi sambil mengelus perutnya.
“lucu Mar, haha” jawabku datar.
Muka Komar langsung manyun.
© © ©
Saat perjalanan menuju ke warung,
tiba-tiba gerimis mulai mengundang. Itu lagu.
Nggak tau? Ya udah, dak papa.
Sudah biasa kalau di daerah
pegunungan, tiba-tiba cerah, tiba-tiba hujan. Cuacanya memang tidak pernah bisa
ditebak. Sama kayak cewek, susah ditebak maunya apa. Hihi.
Inilah keadaan alam yang penuh
misteri untuk ditaklukan.
“kito sarapan dulu, sedikit
leha-leha, siapkan fisik kito, sambil nunggu ujan redo” ujar Jodi kepada kami.
Tapi setelah beberapa lamanya kami
tunggu, hujan tidak menunjukkan akan tanda-tanda berhenti. Keputusan yang sulit
harus kami ambil. Hari sudah menjelang siang, hujan tidak berhenti, hanya
sedikit mengurangi derasnya. Padahal target awal kami berangkat sekitar pukul 9
pagi, sekarang sudah pukul 11 menjelang siang. Dengan mengucap Bismillah, kami memutuskan berangkat. Semua
menggunakan jas hujan, kami memang sudah di wanti-wanti untuk bersiap-siap
membawa jas hujan.
“mano punyo aku Jad?” tanya Komar
kepada Ajad.
“nah,” ujar Ajad sambil memberikan
jas hujan milik Komar.
“Jad, kau lupo siapo aku ni?” ujar
Komar dengan muka serius.
“idaklah, kau Komar kan?”
“tau aku ni Komar, maksud aku tuh,
aku ni Lanang Jad, kau kasih ini,” ujar Komar menyodorkan kembali jas hujan
yang diberikan Ajad tadi.
Aku dan mba Wati coba menahan tawa,
melihat perdebatan mereka berdua. Keduanya dari berangkat sampai sekarang
memang paling sering berdebat. Ada-ada saja yang bisa jadi perdebatan mereka.
Kulirik sekilas jas hujan Komar
yang diberikan Ajad.
Pink.
Hahahaha.
Meledak sudah tawaku.
Muka Komar sudah bentuk angka
delapan. Ajad Cuma pasang muka datar saja.
“ya sudahlah Mar, samo be, jas ujan
galo,” ujar mba Wati mencoba menenangkan Komar.
“tapi mba...” Komar mau protes,
tapi langsung aku potong, “ sudahlah pulo Mar, cak budak kecik be nih, “
“iyo, tapi ini...” Komar masih mau
membela diri. Aku melotot ke arahnya saat dia masih mau protes.
“tapi ini ... pink...” ucapnya
dengan sangat pelan dan pasrah.
Perutku langsung sakit gara-gara
tertawa.
Setelah Jodi melapor ke pos jaga,
hal ini wajb dilakukan, karena untuk mengecek kesiapan kami baik fisik,mental
dan perlengkapan yang kami bawa. Apakah layak untuk mendaki atau ditunda. Allhamdulillah
kami mendapat izin untuk mendaki.
Kamipun siap-siap dan menyandang
tas ransel masing-masing. Tapi lagi-lagi ada keributan antara mereka. Kali ini
antara Kimbo dan Ajad.
“Kimbo, ini tas kau, ngapo kau
ngambek tas aku” protes Ajad saat melihat tas raselnya sudah bertengger di
punggung Kimbo.
“kau bawak yang itu be Jad, aku
yang ini,” jawab Kimbo.
“kan kito punyo tas dewek-dewek
Kim,” Ajad masih tidak terima.
“yang itu be lah Jad, aku nak yang
ini nian, biar seragam samo baju aku,”
Toeng!
Baiklah permisahh sekalian, telah
lahir tiga cecunguk ini ke dunia kita, dengan membuat masalah sepele bisa
menjadi masalah perang dunia kesekian.
© © ©
“Oke kance, sekarang ujan, kito lambat-lambat
be tidak perlu tergesa-gesa. Santai. Kalau ada yang nak istirahat, ngomong be
jangan takut jangan gengsi. Sip.” Ujar Jodi sebelum kami melangkahkan kaki
memulai perjalanan mendaki ini.
“oke, semangattt...” ujarku
menyahut.
“mba Wati, kito sudah sehatikan, ado
mba, ado aku, pokoknyo mba jangan jaoh-jaoh dari aku, aku ado untuk mba, kita
lalui terjalnya jalan ini bersama-sama, sip mba” ujar Komar menebar janji
palsunya.
Kami mulai berjalan. Hujan tetap
dengan senang hatinya membasahi alam. Perjalanan kami sudah cukup jauh, kuatur
terus nafasku sambil berdzikir agar tetap kuat untuk diriku sendiri dan untuk kami
semua.
Kelelahan mulai tampak saat trek yang kami lalui sudah agak
menanjak. Kami memutuskan untuk istirahat. Aku berada di depan bersama Kak Odon,
Udin dan Kimbo, kemudian mba Wati, Komar, Ajad dan terakhir Jodi menyusul. Hujan
tetap mengguyur jalanan yang kami lalui, sehingga membuatnya menjadi becek dan licin.
Kata orang, saat kalian mendakilah,
kalian akan tahu yang mana teman sesungguhnya. Di sini bukan hanya diuji secara
fisik, kita juga diuji secara mental, mengukur kadar keegoisan pribadi
masing-masing. Kalau egois, kalian tidak akan peduli sekeliling, akan terus
mengikuti ego, tidak mau berbagi dan tidak mau empati.
Sedikit banyak, melalui perjalanan
ini, aku mengenal karakter mereka sesungguhnya. Bahkan karakter diriku
sendiripun diuji disini. Kami melalui banyak ujian selama perjalanan ini. Membuat
kami mulai harus belajar menahan ego, menahan amarah dan belajar peka dengan
satu sama lain.
Perjalanan ini memang penuh rintangan,
diuji dengan trek yang licin
berlumpur, diuji dengan hujan badai, tenda bocor, makan nasi rasa beras atau
beras rasa nasi,haha, dan diuji ketahanan hati tentang sebuah tekad serta kepedulian.
Apapun yang telah aku lalui bersama
mereka, itu tidak pernah akan terlupakan olehku. Alam telah banyak mengajarkan
pelajaran yang tidak akan pernah aku temui di pendidikan dan jenjang sekolah, atau
universitas manapun. Kehadiran merekapun juga menjadi pelajaran yang berharga
untukku.
Bagaimanapun akhir perjalanan ini,
bagiku tidak ada mimpi yang gagal, kecuali tidak pernah kita coba.
Dempo.
Aku akan
kembali lagi, entah kapan.