Selasa, 15 November 2016

Pangeran Khayalanku (5)

Rinjani menatap kosong layar laptop di depannya yang juga menampilkan layar putih kosong. Pikiran Rinjani kembali kepada sahabatnya, Ririn. Rasanya dia begitu rindu dengan ririn yang dulu, menggemaskan dengan segala ceritanya yang tak hentinya dan tak pernah ada habisnya. Dia yakin pasti ada masalah yang begitu pelik yang sedang di hadapi oleh ririn. Hanya saja rinjani tak menyangka masalah tersebut benar-benar bisa membuat sahabatnya itu berubah 180 derajat dari biasanya. Rinjani dan Ririn sebenarnya sudah lama saling kenal, mereka tak hanya bersahabat sejak SMA, mereka telah bersahabat sejak SMP. 

Ririn bagi rinjani adalah sosok yang penuh keceriaan. Tidak ada masalah apapun yang bisa membuatnya murung. Rinrin tampak simbol keceriaan di manapun dia berada. Hingga Rinjani percaya, semua bagian hidup Ririn selalu menyenangkan, sisi kesedihan dihatinya tak mendapatkan ruang sedikitpun. Dan hari ini, Rinjani benar-benar tak percaya, semua senyum ceria yang selalu melekat di bibir merah Ririn dan semua tawa riangnya seakan tiba-tiba hilang. 

Rinjani berniat menelpon Ririn malam itu juga, tapi niatnya itupun diurungkannya saat dia melihat jam di layar handphonenya sudah menunjukkan waktunya orang-orang normal beristirahat. sambil terus memikirkan segala kemungkinan penyebab hilangnya senyum Ririn, Rinjanipun akhirnya tertidur.

@  @   @


Senin, 14 November 2016

Dempo, I'm Coming !


Oleh : Reny



Siapa sangka mimpi yang pernah aku tulis dulu menjadi kenyataan. Kalian bisa bayangkan, sesuatu yang sangat kalian inginkan selama ini menjadi kenyataan. Sesuatu yang rasanya mustahil terwujud, tapi hal itu kalian dapat wujudkan.


Yeah! That’s incredible.
Aku benar-benar bersorak ria. Rasanya ini mimpi, tapi saat aku cubit pipiku. Sakit. Yaelah ini kan memang kenyataan dan aku senang, senang, senang. Sayangnya aku tidak bisa salto, kalau aku bisa salto, mungkin aku akan salto bolak balik di lapangan bola. Haha. Ngayal.


Sebelum aku panjang lebar bercerita tentang perjalanan kami yang mengharu biru. Lebay. Mari kita kenalan dulu sama Gn. Dempo. Bagi Mahasiswa pencinta alam, atau para komunitas pencinta alam seluruh Indonesia, pasti kenal dengan gunung satu ini, terutama yang berdomisili di sekitaran Pulau Sumatera.


Gunung Dempo memiliki ketinggian sekitar 3.173 m (10.410 kaki, kaki orang dewasa ya, bukan kaki bayi) terletak di provinsi Sumatera Selatan, di perbatasan antara kau dan aku, baper. Hehe. Salah ding, di perbatasan antara provinsi Sumsel dan Bengkulu tepatnya di kota Basemah nama lain dari kota Pagaralam. Kota dingin penghasil teh hijau favoritku dan terkenal juga sebagai penghasil kopi robusta. Kalau kalian dari kota Palembang tanpa macet, bisa ditempuh jalur darat sekitar 7-8 jam. Kalau dari tempatku dilahirkan dan dibesarkan bunda, di kota (red: dusun lewat, kota belum masuk) Muara Enim, bisa ditempuh sekitar 3-4 jam dan memang belum macet.


Nah, kalau kalian lihat foto keren kami yang di atas, kami berada di titik awal pendakian letaknya di kampung IV. Di sana kami bermalam satu malam, persiapan untuk pendakian esok harinya. Di kampung ini listriknya masih mengandalkan genset, jadi kalau tidak salah sekitar pukul 10 malam listriknya padam dan baru dihidupkan lagi pagi-pagi keesokan harinya, aku lupa jam berapa ya?


Pendakian ini dilakukan oleh enam pemuda dan dua pemudi dengan semangat membara yang penuh cita-cita dan penuh kasih sayang, suka menabung, suka membantu dan eitss, ngelantur.  Intinya kami mempunyai visi dan misi yang sama. Tapi, jangan kalian bayangkan pendakian ini berjalan dengan mulus. Pendakian yang kami sebut sebagai Trip Ucak-Ucak ini kayak kalian ngeliat Bulan. Mulus dari jauh, tapi sesungguhnya penuh kawah-kawah yang dalam, intinya tidak semulus yang dibayangkan dan terlihat.


Awal berangkat saja kami sudah merasakan terjalnya, bukan terjal jalannya saja. Tapi terjalnya keegoisan masing-masing. Akhhh... disitulah kau akan lihat sifat asli mereka. Masalah awal, tenda yang kurang, mepet-mepet waktu keberangkatan baru lengkap tendanya. Satu tenda khusus kami wanita nan jelita dan dua tenda khusus kaum adam nan ...(isi sendirilah).


Perjalanan perginya menyenangkan dan memang penuh tawa. Ada yang dibully dan ada yang membully. Lalu bagaimana dengan aku sendiri. Jangan ditanya, aku benar-benar bahagia saat itu, bukan hatiku saja yang bergenderang gembira, jantungku rasanya ikutan nyanyi ala-ala Indiahe.

“yang cewek, perlengkapan siapin masing-masing yo” ujar ketua kelompok trip ucak-ucak kami. Sebut saja Jodi namanya.

Jodi kembali membuka-buka ransel gunung miliknya dan beberapa ransel besar lainnya.

“lah, ini apo dio Kimbo ?” ujarnya sambil menunjukkan beberapa pakaian ke arah salah satu temanku, sebut saja Kimbo.

“baju akulah,” jawabnya dengan ekspresi agak kesal karena bajunya dibuang keluar dari ransel.

“eh, kau tuh cowok Kimbo, jadilah yang ini bae yang dibawa.”

“oi Jodi, di sano tuh masih nak ganti baju,” ujarnya masih kesal, tapi Jodi tidak menghiraukannya. Dia tetap sibuk merapikan isi ransel-ransel lainnya. Kimbo pun Cuma bisa mendengus kesal lalu pergi.

“Jod, tendanya cukup kan?” tanyaku pada Jodi.

“cakmano yo Tan?” sebut saja namaku di sini Tania.

“masih kurang sikok tendanyo,” ujarnya dengan wajah menyesal.

“yah, kok gitu. Aku dak maulah berangkat, dak mungkinlah kami cewek satu tenda samo kalian,” ada nada kesal, marah, kecewa dan sedih disuaraku.

“tenang be lah Tan, gek ado solusinyo, si Udin lagi ngambek tenda sikok lagi kekawannyo,  buat kalian,” hibur temanku yang lain, sebut saja namanya Ajad.

“iyo, dak nak cemberut nian muko tuh” ujar Jodi sambil senyum. Saat itu mukaku bagaimana bentuknya aku tidak tahu, yang pasti mereka tertawa bersamaan saat melihat ekspresi dimukaku. 

Mukaku ini memang terlalu ekspresif.

Iyalah, wajar kalau aku ketar ketir, ini impianku, ini mimpiku, dan untuk pertama kalinya aku bisa dapat izin seperti ini. Dapat izin seperti ini tuh kayak mimpi disiang bolong kalau suara aku sebagus Raisa. Intinya ini kemustahilan yang aku dapat.

Beberapa saat kemudian terdengar suara adzan, sambil menunggu kak Odon jemput kami. Kami menunaikan shalat Zhuhur dulu di rumahnya Jodi. Kak Odon itu, tetua yang paling tua diantara kami. Tetua yang baik hatinya dengan memberi tumpangan secara gratis menuju kota Pagaralam. Dan baik hatinya lagi, dia tidak nangis sambil guling-guling saat mobilnya lecet oleh kondisi jalan yang terjal.

*pukpuk

Terimakasih Oppa Odon.

“kito makan dulu ye, biar perjalanan siang ini aman damai dan tentram,” ujar Komar sambil mengelus-elus perutnya yang kayak ngumpetin bola sepanjang masa, sebut saja ya namanya Komar.

“haha, yo Mar, percayo mba samo kau.” sahut mba Wati, sebut jugalah namanya atas nama mba Wati. Tokoh pemudi kedua dalam trip ucak-ucak ini.

“kito kan memang selalu sehati mba,” jawab Komar sambil senyum-senyum. Sebenarnya dialog diantara mereka tidak ada keterkaitan sama sekali. Tapi tidak apalah, toh itu berhasil membuatku tersenyum lagi.

Udin datang.

Udin : muka datar.

Aku dan lain-lainnya : muka ngarep.

“ado ?” tanyaku tidak sabar.

“emmmm...”

“seriusan Udin”

“cubo senyum dulu kau tuh Tan” kuusahakan tarik pipi kanan kiriku biar tampak senyum.

“haha, cubo nangis dulu” kembali Udin mempermainkanku.

“kutabok lamo-lamo gek,” aku mulai kesal dan sangat tidak sabar.

“Yo dem, siap-siaplah, tuh kak Odon lah sampe” jawabnya.

Jiahhhhhhhhhh.

Hatiku gembira

Riang tak tekira

Mendengar berita

Udin bawa tendaaaa....

*ups, tidak usah percaya aku beneran nyanyiinnya di depan cecunguk-cecunguk ini, cuma sekedar dalam hati doang kok. Joged-joged indianya juga dalam mimpi kalian saja. Haha.


Kamipun mulai mengecek ulang semua perlengkapan yang kami bawa lalu dilanjutkan dengan berdo’a bersama.

Semoga perjalanan ini sesuai dengan rencana dan target kami tercapai. Aamiin.

Yang tidak bilang amin, aku sumpahi kagak bisa senyum lagi, haha. Canda ding.


Tiba di kota Pagaralam tepat saat Adzan Maghrib, kami shalat lalu mampir sebentar ke rumah penduduk sana, kenalannya si Jodi. Kami mendapat wejangan tentang pendakian. Intinya harus siap fisik dan mental. Tidak boleh berlebihan dan harus tetap kompak.


Malampun tiba, sebelum kami mencari tempat untuk bermalam mendirikan tenda, kami mampir dulu ke warung tempatnya para pendaki-pendaki istirahat. Ramai, pastinya. Apalagi ini menjelang pergantian tahun Masehi. Di sinilah aku dan mba Wati, merasa menjadi kaum minoritas. Karena memang para pendaki itu umumnya para kaum adam, kaum hawanya bisa diitung pakek jari, justru kadang kalau cuma lihat sekilas susah bedainya, cowok apa cewek ya ?


Walaupun begitu, kami dua pemudi yang semangat ini tetap menikmatinya.

© © ©

Brrrr....

Dinginnya mulai menusuk tulang.

Pagi Dempo.

Aku bersemangat, walau sumpah dinginnya pakek banget.

Satu hal yang aku selalu kenang tentang pagi di hari itu, pagi itu pertama kalinya aku tidur di alam bebas, tapi tetep pakek tenda kok, kagak ngapar-ngapar aja.


Bagaimana suasana hatinya Tania ?

Senanggggggg ...senang dan senang komplit pakek banget.


Cuaca saat itu cerah, matahari membantu menghangatkan tubuh kami yang kedinginan.

Setelah berpose ria, dan berapi-rapi ria, kami kembali ke warung yang kami singgahi semalam, tidak jauh dari tempat kami mendirikan tenda untuk memberi bekal perut, terutama perutnya si Komar.

“dedek dalam sini dak boleh lapar, gek nangis, susah dieminnyo.” Ujarnya, lagi-lagi sambil mengelus perutnya.

“lucu Mar, haha” jawabku datar.

Muka Komar langsung manyun.

© © ©

Saat perjalanan menuju ke warung, tiba-tiba gerimis mulai mengundang. Itu lagu. Nggak tau? Ya udah, dak papa.


Sudah biasa kalau di daerah pegunungan, tiba-tiba cerah, tiba-tiba hujan. Cuacanya memang tidak pernah bisa ditebak. Sama kayak cewek, susah ditebak maunya apa. Hihi.

Inilah keadaan alam yang penuh misteri untuk ditaklukan.

“kito sarapan dulu, sedikit leha-leha, siapkan fisik kito, sambil nunggu ujan redo” ujar Jodi kepada kami.

Tapi setelah beberapa lamanya kami tunggu, hujan tidak menunjukkan akan tanda-tanda berhenti. Keputusan yang sulit harus kami ambil. Hari sudah menjelang siang, hujan tidak berhenti, hanya sedikit mengurangi derasnya. Padahal target awal kami berangkat sekitar pukul 9 pagi, sekarang sudah pukul 11 menjelang siang. Dengan mengucap Bismillah, kami memutuskan berangkat. Semua menggunakan jas hujan, kami memang sudah di wanti-wanti untuk bersiap-siap membawa jas hujan.

“mano punyo aku Jad?” tanya Komar kepada Ajad.

“nah,” ujar Ajad sambil memberikan jas hujan milik Komar.

“Jad, kau lupo siapo aku ni?” ujar Komar dengan muka serius.

“idaklah, kau Komar kan?”

“tau aku ni Komar, maksud aku tuh, aku ni Lanang Jad, kau kasih ini,” ujar Komar menyodorkan kembali jas hujan yang diberikan Ajad tadi.

Aku dan mba Wati coba menahan tawa, melihat perdebatan mereka berdua. Keduanya dari berangkat sampai sekarang memang paling sering berdebat. Ada-ada saja yang bisa jadi perdebatan mereka.

Kulirik sekilas jas hujan Komar yang diberikan Ajad.

Pink.

Hahahaha.

Meledak sudah tawaku.

Muka Komar sudah bentuk angka delapan. Ajad Cuma pasang muka datar saja.

“ya sudahlah Mar, samo be, jas ujan galo,” ujar mba Wati mencoba menenangkan Komar.

“tapi mba...” Komar mau protes, tapi langsung aku potong, “ sudahlah pulo Mar, cak budak kecik be nih, “

“iyo, tapi ini...” Komar masih mau membela diri. Aku melotot ke arahnya saat dia masih mau protes.

“tapi ini ... pink...” ucapnya dengan sangat pelan dan pasrah.


Perutku langsung sakit gara-gara tertawa.


Setelah Jodi melapor ke pos jaga, hal ini wajb dilakukan, karena untuk mengecek kesiapan kami baik fisik,mental dan perlengkapan yang kami bawa. Apakah layak untuk mendaki atau ditunda. Allhamdulillah kami mendapat izin untuk mendaki.


Kamipun siap-siap dan menyandang tas ransel masing-masing. Tapi lagi-lagi ada keributan antara mereka. Kali ini antara Kimbo dan Ajad.

“Kimbo, ini tas kau, ngapo kau ngambek tas aku” protes Ajad saat melihat tas raselnya sudah bertengger di punggung Kimbo.

“kau bawak yang itu be Jad, aku yang ini,” jawab Kimbo.

“kan kito punyo tas dewek-dewek Kim,” Ajad masih tidak terima.

“yang itu be lah Jad, aku nak yang ini nian, biar seragam samo baju aku,”

Toeng!


Baiklah permisahh sekalian, telah lahir tiga cecunguk ini ke dunia kita, dengan membuat masalah sepele bisa menjadi masalah perang dunia kesekian.

© © ©

“Oke kance, sekarang ujan, kito lambat-lambat be tidak perlu tergesa-gesa. Santai. Kalau ada yang nak istirahat, ngomong be jangan takut jangan gengsi. Sip.” Ujar Jodi sebelum kami melangkahkan kaki memulai perjalanan mendaki ini.

“oke, semangattt...” ujarku menyahut.

“mba Wati, kito sudah sehatikan, ado mba, ado aku, pokoknyo mba jangan jaoh-jaoh dari aku, aku ado untuk mba, kita lalui terjalnya jalan ini bersama-sama, sip mba” ujar Komar menebar janji palsunya.


Kami mulai berjalan. Hujan tetap dengan senang hatinya membasahi alam. Perjalanan kami sudah cukup jauh, kuatur terus nafasku sambil berdzikir agar tetap kuat untuk diriku sendiri dan untuk kami semua.


Kelelahan mulai tampak saat trek yang kami lalui sudah agak menanjak. Kami memutuskan untuk istirahat. Aku berada di depan bersama Kak Odon, Udin dan Kimbo, kemudian mba Wati, Komar, Ajad dan terakhir Jodi menyusul. Hujan tetap mengguyur jalanan yang kami lalui, sehingga membuatnya menjadi becek dan licin.


Kata orang, saat kalian mendakilah, kalian akan tahu yang mana teman sesungguhnya. Di sini bukan hanya diuji secara fisik, kita juga diuji secara mental, mengukur kadar keegoisan pribadi masing-masing. Kalau egois, kalian tidak akan peduli sekeliling, akan terus mengikuti ego, tidak mau berbagi dan tidak mau empati.


Sedikit banyak, melalui perjalanan ini, aku mengenal karakter mereka sesungguhnya. Bahkan karakter diriku sendiripun diuji disini. Kami melalui banyak ujian selama perjalanan ini. Membuat kami mulai harus belajar menahan ego, menahan amarah dan belajar peka dengan satu sama lain.


Perjalanan ini memang penuh rintangan, diuji dengan trek yang licin berlumpur, diuji dengan hujan badai, tenda bocor, makan nasi rasa beras atau beras rasa nasi,haha, dan diuji ketahanan hati tentang sebuah tekad serta kepedulian.


Apapun yang telah aku lalui bersama mereka, itu tidak pernah akan terlupakan olehku. Alam telah banyak mengajarkan pelajaran yang tidak akan pernah aku temui di pendidikan dan jenjang sekolah, atau universitas manapun. Kehadiran merekapun juga menjadi pelajaran yang berharga untukku.


Bagaimanapun akhir perjalanan ini, bagiku tidak ada mimpi yang gagal, kecuali tidak pernah kita coba.


Dempo.


Aku akan kembali lagi, entah kapan.