Selasa, 17 Januari 2017

ANTARA AKU DAN KAMU

Oleh : Reny

Ini tentang antara aku dan kamu.

Tentang pertemuan kita, kebersamaan kita sampai perpisahan kita.

Aku ingin sedikit bercerita kepada dunia tentang kamu. Maybe. Mungkin juga akan sangat panjang lebar. Haha. Kalau kata dosenku dulu, aku tuh semestinya masuk jurusan Sastra Fisika, karena hobinya aku dalam bercerita dan menulis. Sayangnya jurusan itu tidak ada, jadinya aku harus Nyasar kependidikan Fisika ini. Hehe.

Pertemuan kita, yaitu antara aku dan kamu bukanlah kehendaakku, atau kehendakmu, Tapi kehendak-Nya. Kita ditakdirkan untuk bertemu, saling melengkapi dan mengisi catatan tentang kita selama bersama walaupun pada akhirnya kita harus berpisah.

Aku tahu dengan pasti, tidak semua hari-hari yang aku lalui bersamamu adalah hari-hari yang manis, bukanlah semua hari-hariku menjadi hari-hari yang menyenangkan saat kita bersama. Jujur saja, aku kadang menangis dengan sikapmu yang kadang begitu acuh, egois dan keras. Terkadang juga kamu marah tanpa sebab kepadaku atau terkadang marahmu benar-benar sangat menyakitiku. Sebenarnya bisa jadi kamu juga pernah begitu sakit hati dengan sikapku, mungkin saja kamu juga pernah begitu kecewa denganku, hanya saja kamu terlalu keras untuk menitikkan air matamu di hadapanku. Mungkin di belakangku kamu lebih dan lebih banyak lagi menitikkan air matamu karenaku.

Tapi setelah perpisahan kita, aku berani mengatakan dengan sangat lantang kepada dunia, bahwa semua hari dan semua hal tentang kamu dan aku adalah hal yang terindah yang pernah aku miliki.

TERINDAH.

Ya. Aku yakin itu dengan pasti.

Tidak salah kalau pepatah orang yang mengatakan, bahwa kita baru akan merasa sangat kehilangan saat semuanya sudah tidak ada lagi dan sudah tidak kita miliki lagi.

Akupun baru menyadari bahwa senyumanmu adalah senyuman yang paling tulus, menenangkan dan yang termanis yang pernah aku lihat dan aku miliki.
Dan aku telah kehilangan itu semua.

Aku tidak pernah menyesali perpisahan kita. Karena perpisahan ini telah begitu banyak mengajarkanku tentang kehidupan dan arti keikhlasan yang sesungguhnya. Sama seperti saat kita bersama dulu. Banyak hal yang telah kamu perbuat untuk menjadikan aku tegar dan kuat terhadap semua permasalahan hidup. Walau terkadang tetap saja air mata ini jatuh dengan sendirinya saat kusebut namamu. Bahkan saat aku menulis ini, air mata ini tetap tidak bisa berkompromi. Kalau orang lain melihatnya, semoga saja mereka beranggapan aku sedang kelilipan, tapi itu berlaku untuk orang yang berumur 1- 3 tahun alias semua orang tahu bahwa aku sedang menangis.

Satu hal yang sangat aku sayangkan adalah aku belum sempat mengatakan,
aku mencintaimu. Sangat mencintaimu.

Bahkan mungkin memang aku baru menyadarinya setelah kita berpisah.
Setelah kamu pergi.

Aku baru menyadari betapa besarnya ketulusan cintamu, aku baru menyadari keikhlasanmu memilikiku dan besarnya rasa sayangmu terhadapku.

Semuanya baru kusadari sepenuhnya.

18 Januari adalah angka yang begitu bearti untukku. Sama halnya angka 8 bagimu. 8 Desember adalah pertemuan pertama kita. Dan 18 Januari adalah tanggal perpisahan kita. Semua terkait dengan angka 8, entah kebetulan atau memang sudah begitu, yang pasti aku menyukai angka 8. Angka yang penuh lika-liku namun tak terputus antara titik awal dan titik akhirnya. Sama seperti lagu dangdut :

“Hidup penuh liku-liku, ada suka ada duka, semua insan pasti pernah merasakanyaaaaa....”

Tapi jangan suruh aku nyanyi ya, karena percayalah, aku orangnya suka bernyayi tapi lupa dengan nada. Bahkan sering juga lupa lirik. (keseringan). Haha.

Untuk kamu yang disana,

Aku rindu.



Sekian.

AKU DAN KEINGINAN MELEPAS JILBAB

oleh : Reny


Ini kisahku tentang perjalanan hidayah pakaian yang aku kenakan sekarang. Sebelum lanjut keceritaku, mari sedikit aku definisikan tentang jilbab dan kerudung. Biar nanti tidak ada kesalahpahaman.

Jilbab itu pakaian taqwa muslimah yang menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan, sedangkan kerudung adalah penutup kepala, bisa berupa selendang, atau bahan sejenisnya. Sifatnya hanya sebagai penutup kepala.


Lanjut keceritaku.

Aku terlahir dari keluarga biasa-biasa saja. Keluarga sederhana dalam arti sesungguhnya. Ayah dan ibuku bukanlah seorang kyai atau ustazah. Masalah agama, merekapun mengetahui sekedarnya saja. Ibuku belajar agama secara mandiri, lewat hobinya membaca dan mendengarkan ceramah dari televisi setiap selesai shalat shubuh. Kalau sekarang beliau masih ada, mungkin beliau salah satu penggemar acara mama dedeh ‘curhat dong mah’ hehe.

Hingga pada akhirnya beliau memutuskan mengenakan jilbab setelah mengetahui bahwa pakaian wajib seorang muslimah saat sudah berumur baligh adalah jilbab atau pakaian taqwa.

Banyak yang mencemo’oh tentang pakaian ibuku, bahkan pernah disebut-sebut sebagai ‘teroris’ oleh orang-orang di daerahku. Maklum kala itu yang menggunakan jilbab hanya segelintir orang di daerahku, bahkan di Indonesia hal itu masih aneh dan tabu.

Ahh..lumayan panjang ya cerita tentang ibuku, nanti kapan-kapan aku ceritakan khusus tentang beliau dan untuk beliau.

Intinya aku hanya ingin menggambarkan kepada kalian, aku sama seperti kalian, bukan berasal  dari keluarga yang luar biasa dan juga sangat biasa dalam pengetahuan agama. Hanya saja bedanya, ada yang mau belajar dan ada yang belum mau belajar.

”Tria pas SMP gek, suruh pakek jilbab be” pesan kakakku pada ibuku.

“iyo, biar pacak berubah pulo kelakuan dio ni, yang galak nyeleneh dewek” jawab ibuku setuju.

Itulah percakapan awal yang telah mengubah duniaku selanjutnya.

Saat itu aku benar-benar tidak tahu apa itu jilbab. Aku hanya tahu, saat aku mulai masuk di hari pertama sebagai siswi SMP, aku mengenakan baju panjang, rok panjang dan kerudung penutup kepala. Pakaian itu sama yang ibu aku kenakan sehari-hari. Jadi aku tidak merasa asing lagi, hanya saja aku memang belum tahu makna sesungguhnya dari jilbab.

Tidak heran, bulan-bulan pertama aku mengenakan jilbab, aku masih seperti yang dulu.

Masih hobi manjat pohon,terutama pohon seri depan rumahku tanpa menggunakan jilbab. Sebuah kegiatan sore hari yang wajib aku lakukan dengan kedua sepupuku. Pohon seri yang jaraknya kurang lebih 2 meter dari jalan raya. Selalu aku naiki tanpa menggunakan kerudung dan tanpa malu. Sifat anak-anak SD –ku masih sangat melekat kala itu. Yah.. padahal saat itu aku sudah resmi menjadi siswi SMP dan sudah beberapa bulan kemarin resmi mengenakan jilbab.

Kebiasaan jelek keduaku adalah sering bolos shalat. Shalatku saat itu masih banyak ‘bolongnya’ daripada ’adanya’.

Kejadian pertama :

“Tria, lah shalat zhuhur belum?” tanya kakakku.

“belum, gek be, aku kekenyangan kak,sakit perut aku.” jawabku ngeles.

“shalatlah, gek dak lagi kekeyangan, ilang raso sakit perutnyo”

Oke aku shalat saat itu, tapi bukan karena Allah, hanya karena diiming-imingi bakalan tidak lagi 
terasa sakit perut akibat kekenyangan.

Kejadian kedua :

“Tria, lah shalat Ashar belum?” tanya kakakku.

“belum, gek be” jawabku sekenanya. Aku masih sibuk ngadu semut semade (semut hitam yang besar, ada dua capit di bagian atas kepalanya, biasa hidup di tanah yang gembur atau berpasir), permainan ini masih hits kala itu di daerahku dan aku sering memainkannya bersama sepupuku. Sama seperti ngadu ayam, bedanya ini semut semade yang kami adu.

Satu jam kemudian.

Tiba-tiba kakakku berdiri di depanku sambil membawa sapu ijuk (sapu yang ganggangnya terbuat dari kayu)

“masih nak maen, apo ganggang sapu ini melayang ?” ujar kakakku diiringi petir dan kilat menyambar-nyambar di belakangnya,lebay. Hehe.

Puk..puk...

Ganggang sapu itu sukses berkenalan dengan kedua betisku, membuatku langsung tunggang langgang menuju kamar mandi sambil dikejar kakakku yang masih mengacungkan ganggang sapunya.

“ampuuunn ...kak, ampuuunnn.”langsung kututup rapat-rapat pintu kamar mandi lalu mengambil wudhu.

Shalat kali ini, karena takut dengan sapu kakakku bukan takut dengan Allah.

Kejadian ketiga :

Hari itu adalah hari besar islam, peringatan maulid nabi Muhammad SAW. Acaranya diadakan di masjid samping sekolahku. Seluruh murid wajib hadir ke dalam masjid, bahkan diancam akan diabsen dan yang tidak datang akan dikenakan sanksi.

Yups, benar yang ada di pikiran kalian, aku tidak hadir alias minggat. Aku dan empat orang temaku berdiam tetap dikelas. Satunya memang noni (non islam) tiganya lagi aku dan dua temanku, kami semua muslimah yang anggun dan rupawan. haha.

“nak ke masjid dak yak?” tanya temanku,

“males ai, lesu bejubel jubel dalam situ, panas,dikelas be peh,” ajak sesatku kepada dua temanku.

Akhirnya kami tidur-tiduran dalam kelas, tiba-tiba ternyata ada guru piket yang patroli keliling kelas, memeriksa kelas satu persatu kali aja ada yang bertingkah tidak datang ke masjid, dan betul adanya. Kamilah contohnya.

Dengan segala cara kami melarikan diri, satu temanku sembunyi di bawah kolong meja guru, satunya lagi mengikuti jejakku melompati jendela kelas yang lumayan tinggi, padahal waktu itu aku pakai gamis (baju panjang terusan, biasa juga di sebut jubah). Tapi karena pada dasarnya aku biasa panjat memanjat pohon, lompat melompati pagar, jadi dengan mudah saja tanpa susah payah aku melompati jendela dengan pakaian gamisku.

Kasihan temanku, dia tertangkap guru piket, saat berusaha melompat, kakinya tinggal sebelah. Sebelah sudah sukses keluar, sebelahnya lagi masih di dalam kelas, hasilnya kaki itulah yang ditarik-tarik oleh guru piket yang lagi patroli. Dari kejauhan aku hanya mendengar suaranya.

“ampun bu, ampun..ya bu dak lagi, ampun.”

Aku sudah melesat secepat kilat mencari persembunyian lain. Haha.

Bagaimana dengan kisah kalian? Itu kisahku tentang shalat bolong-bolongku, tentang aku yang suka lepas jilbab semauku dan tentang ibadahku lainnya yang belum sempurna. Sama kok dengan kalian, aku juga pernah mengalami masa-masa kelam, masa-masa jahiliyah seperti itu.

Tapi apakah aku terus begitu?

Allhamdulilah sedikit demi sedikit berkurang dan sekarangpun masih terus dalam tahap belajar. Jilbab menumbuhkan rasa malu dengan semua masa jahiliyahku itu.

Aku mulai malu kalau shalat banyaklah bolong-bolongnya.

Aku malu kalau keluar rumah tidak pakai jilbab, bahkan walau hanya sejengkal dari pintu keluar rumah.

Aku malu kalau shalat harus kejar-kejaran dulu dengan sapu kakakku. haha.

Proses pertamaku dalam berjilbab telah aku lalui. Yaitu sedikit demi sedikit memperbaiki shalatku dan kebiasaan jelekku.

Lalu apakah sampai disitu saja ujianku dengan pakaian taqwa ini. Tidak. Rentetanya masiiiiihhh panjangggg. Bahkan mungkin ujian kali ini adalah ujian yang dialami oleh hampir semua wanita muslimah yang mengenakan jilbab. Mungkin ini ujian paling berat atau justru paling ringan, tergantung sudut pandang kita masing-masing.

Saat aku menginjak bangku SMA, jilbab bukanlah hal yang asing lagi bagi daerahku, bahkan sudah menjadi tren busana di negaraku. Ibuku juga sudah terlepas dari panggilan ‘teroris’. Jilbab sudah diterima dengan baik di negeri ini. Dan aku sangat bersyukur dengan hal tersebut.

Seiring berjalannya waktu, satu persatu teman-teman perempuanku menemukan hidayah mereka sendiri untuk menggunakan pakaian taqwanya. Terkadang aku begitu iri dengan mereka, mereka mampu menemukan hidayah mereka sendiri, memantapkan hati mereka sendiri dengan hidayah itu untuk berjilbab. Karena memang, aku mendapatkan hidayahku bukan dari hati, tapi dari kewajiban kakak serta ibuku. Namun, aku tetap bersyukur, pada akhirnya aku juga menemukan hidayahku sendiri sepanjang perjalananku bersama pakaian ini. Karena masing-masing dari kita berbeda cara Allah memberikan hidayahNya kepada kita.

Kalau dulu aku tidak diwajibkan pakai jilbab saat SMP, mungkin sampai sekarang belum tentu aku sudah berjilbab. Semua ada hikmahnya.

Setelah masa-masa SMA, aku mulai mengenal dunia idealismenya mahasiswa. Disinilah mungkin puncak proses keduaku dengan pakaian ini.

Banyak dari teman-temanku semasa sekolah dulu, mulai pangkas memangkas, babat membabat pakaian taqwa mereka. Hingga ada yang sampai pangkas habis tak bersisa. Dunia kerja dan dunia kampus yang aku kenal dan mereka kenal memang begitu kuat menggerus jilbab para muslimah. Pergaulan dan budaya serta macam hal lainnya begitu tidak terkendali. Akupun melaluinya dengan sangat berat.

Bahkan dimulai saat aku akan pengambilan foto untuk ujian nasional, baik SMP maupun SMA. Entah darimana aturan yang mengharuskan kalau fotonya harus menampakan telinga atau alasan aneh lainnya. Kalau fotonya tetap pakai jilbab, katanya nanti tidak lulus. Yah... aku tetap berkeras dengan pakaianku. Apapun yang terjadi, aku yakin Allah maha penolong bagi hambaNya yang berjuang demi kebaikan.

Dunia kuliah dan kerja, sudah aku katakan di atas tadi, sangat begitu kuat gravitasinya untuk menyedot habis jilbab-jilbab para muslimah.

Aku belajar dari ibuku. Apapun yang terjadi diluar sana, ingatlah ada hari esok yang lebih kekal dan kita akan berada selamanya di sana. Dunia tidak akan pernah ada habisnya. Dia akan semakin gemerlap dan semakin gemerlap saat syetan sudah turun tangan.

Melepas jilbab bukanlah suatu pilihan, bahkan walaupun dijanjikan segunung harta itu tak ada apa-apanya dengan milik Allah sejagad raya ini.

Aku dan perjalanan bersama pakaian ini bukan tidak pernah dihadapkan pada pilihan untuk melepas jilbabku demi dunia. Tapi masih ada sedikit bagian hatiku yang sangat takut dengan neraka membuatku semakin kuat bertahan dengan pakaian ini. Walau aku juga bukan orang yang selalu baik-baik, bukan orang yang level imannya selalu up, bahkan pernah terjun bebas atau mungkin sangat sering terjun bebas, tapi tetap, hati kecilku ini penakut. Aku tidak seberani mereka, untuk menghadapi dunia tanpa jilbabku. Karena jilbabku benar-benar telah melindungiku dan mengubahku sedikit lebih baik dari kemarin.

Kita berubah bukan untuk menjadi lebih baik dari siapapun tapi berusaha menjadi lebih baik dari kita yang kemarin dan saat ini.



*cerita ini 70% fakta, sisanya sekedar pemanis buatan, penyedap rasa dan penambah selera. Jika ini bermanfaat, ambil hikmahnya, jika tidak, tetap ambil hikmahnya. Maksa. Hehe.

                                                                           
^Semoga bermanfaat^