oleh : Reny
Ini kisahku tentang perjalanan
hidayah pakaian yang aku kenakan sekarang. Sebelum lanjut keceritaku, mari
sedikit aku definisikan tentang jilbab dan kerudung. Biar nanti tidak ada
kesalahpahaman.
Jilbab itu pakaian taqwa muslimah
yang menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan, sedangkan kerudung
adalah penutup kepala, bisa berupa selendang, atau bahan sejenisnya. Sifatnya
hanya sebagai penutup kepala.
Lanjut keceritaku.
Aku terlahir dari keluarga
biasa-biasa saja. Keluarga sederhana dalam arti sesungguhnya. Ayah dan ibuku
bukanlah seorang kyai atau ustazah. Masalah agama, merekapun mengetahui
sekedarnya saja. Ibuku belajar agama secara mandiri, lewat hobinya membaca dan
mendengarkan ceramah dari televisi setiap selesai shalat shubuh. Kalau sekarang
beliau masih ada, mungkin beliau salah satu penggemar acara mama dedeh ‘curhat
dong mah’ hehe.
Hingga pada akhirnya beliau
memutuskan mengenakan jilbab setelah mengetahui bahwa pakaian wajib seorang
muslimah saat sudah berumur baligh adalah jilbab atau pakaian taqwa.
Banyak yang mencemo’oh tentang
pakaian ibuku, bahkan pernah disebut-sebut sebagai ‘teroris’ oleh orang-orang
di daerahku. Maklum kala itu yang menggunakan jilbab hanya segelintir orang di
daerahku, bahkan di Indonesia hal itu masih aneh dan tabu.
Ahh..lumayan panjang ya cerita
tentang ibuku, nanti kapan-kapan aku ceritakan khusus tentang beliau dan untuk
beliau.
Intinya aku hanya ingin
menggambarkan kepada kalian, aku sama seperti kalian, bukan berasal dari keluarga yang luar biasa dan juga sangat
biasa dalam pengetahuan agama. Hanya saja bedanya, ada yang mau belajar dan ada
yang belum mau belajar.
”Tria pas SMP gek, suruh pakek
jilbab be” pesan kakakku pada ibuku.
“iyo, biar pacak berubah pulo
kelakuan dio ni, yang galak nyeleneh dewek” jawab ibuku setuju.
Itulah percakapan awal yang telah
mengubah duniaku selanjutnya.
Saat itu aku benar-benar tidak
tahu apa itu jilbab. Aku hanya tahu, saat aku mulai masuk di hari pertama
sebagai siswi SMP, aku mengenakan baju panjang, rok panjang dan kerudung
penutup kepala. Pakaian itu sama yang ibu aku kenakan sehari-hari. Jadi aku
tidak merasa asing lagi, hanya saja aku memang belum tahu makna sesungguhnya
dari jilbab.
Tidak heran, bulan-bulan pertama
aku mengenakan jilbab, aku masih seperti yang dulu.
Masih hobi manjat pohon,terutama
pohon seri depan rumahku tanpa menggunakan jilbab. Sebuah kegiatan sore hari
yang wajib aku lakukan dengan kedua sepupuku. Pohon seri yang jaraknya kurang
lebih 2 meter dari jalan raya. Selalu aku naiki tanpa menggunakan kerudung dan
tanpa malu. Sifat anak-anak SD –ku masih sangat melekat kala itu. Yah.. padahal
saat itu aku sudah resmi menjadi siswi SMP dan sudah beberapa bulan kemarin
resmi mengenakan jilbab.
Kebiasaan jelek keduaku adalah
sering bolos shalat. Shalatku saat itu masih banyak ‘bolongnya’ daripada
’adanya’.
Kejadian pertama :
“Tria, lah shalat zhuhur belum?”
tanya kakakku.
“belum, gek be, aku kekenyangan
kak,sakit perut aku.” jawabku ngeles.
“shalatlah, gek dak lagi
kekeyangan, ilang raso sakit perutnyo”
Oke aku shalat saat itu, tapi
bukan karena Allah, hanya karena diiming-imingi bakalan tidak lagi
terasa sakit
perut akibat kekenyangan.
Kejadian kedua :
“Tria, lah shalat Ashar belum?”
tanya kakakku.
“belum, gek be” jawabku
sekenanya. Aku masih sibuk ngadu semut semade (semut hitam yang besar, ada dua
capit di bagian atas kepalanya, biasa hidup di tanah yang gembur atau
berpasir), permainan ini masih hits kala itu di daerahku dan aku sering
memainkannya bersama sepupuku. Sama seperti ngadu ayam, bedanya ini semut
semade yang kami adu.
Satu jam kemudian.
Tiba-tiba kakakku berdiri di depanku
sambil membawa sapu ijuk (sapu yang ganggangnya terbuat dari kayu)
“masih nak maen, apo ganggang
sapu ini melayang ?” ujar kakakku diiringi petir dan kilat menyambar-nyambar di
belakangnya,lebay. Hehe.
Puk..puk...
Ganggang sapu itu sukses
berkenalan dengan kedua betisku, membuatku langsung tunggang langgang menuju
kamar mandi sambil dikejar kakakku yang masih mengacungkan ganggang sapunya.
“ampuuunn ...kak, ampuuunnn.”langsung
kututup rapat-rapat pintu kamar mandi lalu mengambil wudhu.
Shalat kali ini, karena takut
dengan sapu kakakku bukan takut dengan Allah.
Kejadian ketiga :
Hari itu adalah hari besar islam,
peringatan maulid nabi Muhammad SAW. Acaranya diadakan di masjid samping
sekolahku. Seluruh murid wajib hadir ke dalam masjid, bahkan diancam akan
diabsen dan yang tidak datang akan dikenakan sanksi.
Yups, benar yang ada di pikiran
kalian, aku tidak hadir alias minggat. Aku dan empat orang temaku berdiam tetap
dikelas. Satunya memang noni (non islam) tiganya lagi aku dan dua temanku, kami
semua muslimah yang anggun dan rupawan. haha.
“nak ke masjid dak yak?” tanya
temanku,
“males ai, lesu bejubel jubel
dalam situ, panas,dikelas be peh,” ajak sesatku kepada dua temanku.
Akhirnya kami tidur-tiduran dalam
kelas, tiba-tiba ternyata ada guru piket yang patroli keliling kelas, memeriksa
kelas satu persatu kali aja ada yang bertingkah tidak datang ke masjid, dan
betul adanya. Kamilah contohnya.
Dengan segala cara kami melarikan
diri, satu temanku sembunyi di bawah kolong meja guru, satunya lagi mengikuti
jejakku melompati jendela kelas yang lumayan tinggi, padahal waktu itu aku
pakai gamis (baju panjang terusan, biasa juga di sebut jubah). Tapi karena pada
dasarnya aku biasa panjat memanjat pohon, lompat melompati pagar, jadi dengan
mudah saja tanpa susah payah aku melompati jendela dengan pakaian gamisku.
Kasihan temanku, dia tertangkap
guru piket, saat berusaha melompat, kakinya tinggal sebelah. Sebelah sudah
sukses keluar, sebelahnya lagi masih di dalam kelas, hasilnya kaki itulah yang
ditarik-tarik oleh guru piket yang lagi patroli. Dari kejauhan aku hanya
mendengar suaranya.
“ampun bu, ampun..ya bu dak lagi,
ampun.”
Aku sudah melesat secepat kilat
mencari persembunyian lain. Haha.
Bagaimana dengan kisah kalian?
Itu kisahku tentang shalat bolong-bolongku, tentang aku yang suka lepas jilbab
semauku dan tentang ibadahku lainnya yang belum sempurna. Sama kok dengan
kalian, aku juga pernah mengalami masa-masa kelam, masa-masa jahiliyah seperti
itu.
Tapi apakah aku terus begitu?
Allhamdulilah sedikit demi
sedikit berkurang dan sekarangpun masih terus dalam tahap belajar. Jilbab
menumbuhkan rasa malu dengan semua masa jahiliyahku itu.
Aku mulai malu kalau shalat
banyaklah bolong-bolongnya.
Aku malu kalau keluar rumah tidak
pakai jilbab, bahkan walau hanya sejengkal dari pintu keluar rumah.
Aku malu kalau shalat harus
kejar-kejaran dulu dengan sapu kakakku. haha.
Proses pertamaku dalam berjilbab
telah aku lalui. Yaitu sedikit demi sedikit memperbaiki shalatku dan kebiasaan
jelekku.
Lalu apakah sampai disitu saja
ujianku dengan pakaian taqwa ini. Tidak. Rentetanya masiiiiihhh panjangggg.
Bahkan mungkin ujian kali ini adalah ujian yang dialami oleh hampir semua
wanita muslimah yang mengenakan jilbab. Mungkin ini ujian paling berat atau justru
paling ringan, tergantung sudut pandang kita masing-masing.
Saat aku menginjak bangku SMA,
jilbab bukanlah hal yang asing lagi bagi daerahku, bahkan sudah menjadi tren
busana di negaraku. Ibuku juga sudah terlepas dari panggilan ‘teroris’. Jilbab
sudah diterima dengan baik di negeri ini. Dan aku sangat bersyukur dengan hal
tersebut.
Seiring berjalannya waktu, satu
persatu teman-teman perempuanku menemukan hidayah mereka sendiri untuk
menggunakan pakaian taqwanya. Terkadang aku begitu iri dengan mereka, mereka
mampu menemukan hidayah mereka sendiri, memantapkan hati mereka sendiri dengan
hidayah itu untuk berjilbab. Karena memang, aku mendapatkan hidayahku bukan
dari hati, tapi dari kewajiban kakak serta ibuku. Namun, aku tetap bersyukur,
pada akhirnya aku juga menemukan hidayahku sendiri sepanjang perjalananku
bersama pakaian ini. Karena masing-masing dari kita berbeda cara Allah
memberikan hidayahNya kepada kita.
Kalau dulu aku tidak diwajibkan
pakai jilbab saat SMP, mungkin sampai sekarang belum tentu aku sudah berjilbab.
Semua ada hikmahnya.
Setelah masa-masa SMA, aku mulai
mengenal dunia idealismenya mahasiswa. Disinilah mungkin puncak proses keduaku
dengan pakaian ini.
Banyak dari teman-temanku semasa
sekolah dulu, mulai pangkas memangkas, babat membabat pakaian taqwa mereka.
Hingga ada yang sampai pangkas habis tak bersisa. Dunia kerja dan dunia kampus
yang aku kenal dan mereka kenal memang begitu kuat menggerus jilbab para
muslimah. Pergaulan dan budaya serta macam hal lainnya begitu tidak terkendali.
Akupun melaluinya dengan sangat berat.
Bahkan dimulai saat aku akan
pengambilan foto untuk ujian nasional, baik SMP maupun SMA. Entah darimana
aturan yang mengharuskan kalau fotonya harus menampakan telinga atau alasan
aneh lainnya. Kalau fotonya tetap pakai jilbab, katanya nanti tidak lulus.
Yah... aku tetap berkeras dengan pakaianku. Apapun yang terjadi, aku yakin Allah
maha penolong bagi hambaNya yang berjuang demi kebaikan.
Dunia kuliah dan kerja, sudah aku
katakan di atas tadi, sangat begitu kuat gravitasinya untuk menyedot habis
jilbab-jilbab para muslimah.
Aku belajar dari ibuku. Apapun
yang terjadi diluar sana, ingatlah ada hari esok yang lebih kekal dan kita akan
berada selamanya di sana. Dunia tidak akan pernah ada habisnya. Dia akan
semakin gemerlap dan semakin gemerlap saat syetan sudah turun tangan.
Melepas jilbab bukanlah suatu
pilihan, bahkan walaupun dijanjikan segunung harta itu tak ada apa-apanya
dengan milik Allah sejagad raya ini.
Aku dan perjalanan bersama
pakaian ini bukan tidak pernah dihadapkan pada pilihan untuk melepas jilbabku
demi dunia. Tapi masih ada sedikit bagian hatiku yang sangat takut dengan
neraka membuatku semakin kuat bertahan dengan pakaian ini. Walau aku juga bukan
orang yang selalu baik-baik, bukan orang yang level imannya selalu up, bahkan
pernah terjun bebas atau mungkin sangat sering terjun bebas, tapi tetap, hati
kecilku ini penakut. Aku tidak seberani mereka, untuk menghadapi dunia tanpa
jilbabku. Karena jilbabku benar-benar telah melindungiku dan mengubahku sedikit
lebih baik dari kemarin.
Kita berubah bukan untuk menjadi
lebih baik dari siapapun tapi berusaha menjadi lebih baik dari kita yang
kemarin dan saat ini.
*cerita ini 70% fakta, sisanya
sekedar pemanis buatan, penyedap rasa dan penambah selera. Jika ini bermanfaat,
ambil hikmahnya, jika tidak, tetap ambil hikmahnya. Maksa. Hehe.
^Semoga bermanfaat^